PRA POSITIVISME
Era prapositivisme dimulai sejak Aristoteles
(384-322 SM) sampai David Hume (1711-1776) . Aristoteles adalah seorang filsuf,
saintis, dan sekaligus ahli pendidikan. Ia adalah salah satu ahli piker yang
berpengaruh di Barat. Menurutnya manusia adalah pengamat pasif, karena segala
hal yang bersifat fisik terjadi secara alamiah. Menurut Aristoteles untuk
memperoleh pengetahuan, manusia untuk menggunakan hukum-hukum logika seperti
law of contracdition (tidak ada proposisi yang benar dan sekaligus salah) dan
law of excluded middle (suatu proposisi bias benar dan bias salah).
Logika dikenal sebagai ilmu tentang alat
untuk mencari kebenaran. Bila disusun secara sistematik, maka metodologi
penelitian merupakan bagian dari logika. Setidaknya ada lima model logika,
yaitu logika formal asristoteles; logika matematik dedutif; logika matematik
induktif; logika matematik probabilistic; dan logika reflektif.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma
tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru.
Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti
bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa
ingin berusaha untuk merubah.
Ada dua metode berfikir dalam perkembangan
pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan
metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah
metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada
hal-hal yang khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah
sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam
penelitian.
Kegiatan penelitian
memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni
metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif
dianggap memenuhi syarat sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan
alat-alat atau intrumen untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara
statistik.
Berikut adalah dasar teoritis penelitian
kuantitatif :
Pada penelitian kualitatif, teori
diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya,
baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu
sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif
adalah:
1.
Pendekatan fenomenologis. Dalam
pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2.
Pendekatan interaksi simbolik. Dalam
pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan
peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu
diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan
proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
3.
Pendekatan kebudayaan. Untuk
menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat
memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik.
Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan
berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
4.
Pendekatan etnometodologi.
Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang,
menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi
berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan
menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif
yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan
peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
Tetapi dalam perkembangannya, data
yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat menerangkan kebenaran
secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap
mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.
Tiap penelitian
berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan
timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi
bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari
apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.
POSITIVISME
Positivisme secara etimologi berasal
dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa
yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini
berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya
ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan
konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat
disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu
paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.
Tokoh aliran ini adalah August Comte
(1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri
sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain,
ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah
yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting
positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih
adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang
lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran - ukuran
tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
Pengajaran
utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh Moritz
Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich
Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle.
Logika positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan
para pendirinya percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam
penyelidikan filosofi. Tujuan dari seluruh analisis filosofi adalah analisis
logika dari ilmu yang dinyatakan sebagai positif, atau empiris, yang merupakan
label dari logika positivisme.
Tugas
pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan
dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis
bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis
(sebagai contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari
fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively
significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif
bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi
yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi,
atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat
dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Kata positivisme mengacu pada satu
set perspektif epistemologis dan filsafat ilmu yang berpendapat bahwa metode
ilmiah adalah pendekatan yang tepat untuk mengungkap proses baik peristiwa yang
terkait masalah fisik dan manusia. Pendekatan positivis telah menjadi tema yang
berulang dalam sejarah pemikiran Barat dari Yunani Kuno yang dikembangkan pada
awal abad 19 oleh filsuf dan pendiri sosiolog, Auguste Comte.
Positivisme menegaskan bahwa
pengetahuan otentik adalah pengetahuan yang didasarkan pada akal, pengalaman
dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan terhadap filsafat ilmu yang
berasal dari pemikir abad pencerahan di Barat, positivisme menggunakan metode
ilmiah untuk menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati ketergantungan
melingkar teori dan observasi (pengukuran) dalam ilmu pengetahuan. Positivisme
sosiologis kemudian dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk
penelitian dalam sosiologi. Pada pergantian abad ke-20 gelombang pertama
sosiolog Jerman, termasuk Max Weber dan Georg Simmel, menolak doktrin
postivistisme yang kemudian memunculkan paham antipositivists dan positivisme
kritis yang terkait dengan “saintisme” yang mengusung konsep ilmu adalah
ideologi.
Pada awal abad 20, muncul paham
positivisme-logis yang diturunkan dari tesis dasar Comte, tetapi gerakan ini
bersifat independen yang muncul di Wina dan tumbuh menjadi salah satu paham
yang dominan dalam filsafat Anglo-Amerika dan tradisi analitik. Positivis logis
(atau neopositivists) menolak unsur metafisik yang dilihat sebagai spekulasi
dan upaya untuk mereduksi pernyataan dan proposisi menjadi sebuah logika yang
murni (pure logic). Kritik dari pendekatan oleh filsuf seperti Karl
Popper dan Thomas Kuhn sangat berpengaruh dan memunculkan perkembangan paham
postpositivism. Dalam psikologi, gerakan positivis ini berpengaruh pada
pengembangan behavioralisme dan operationalisme.
Dalam ilmu sosial kontemporer, paham
positivisme telah lama mendapatkan kritikan berkali-kali. Praktisi positivisme
era baru mengakui adanya bias pengamat (subjek yang melakukan pengamatan) dan
keterbatasan struktural. Positivis modern umumnya menghindari masalah metafisik
yang mendukung perdebatan metodologis tentang kejelasan (clarity),
keterulangan (replicability), reliabilitas dan validitas. Positivisme
seperti ini umumnya mendukung penelitian kuantitatif yang sebenarnya tidak
mendukung uraian teoretis atau filosofis paham positivisme.
a. Beberapa Poin Pandangan Positivisme
Dalam terkuat rumusan aslinya, positivisme bisa dianggap
sebagai satu set lima prinsip yang terdiri dari:
1. Kesatuan
metode ilmiah yaitu logika investigasi (i.e penyelidikan, penelitian) di semua
ilmu (sosial dan alam) adalah sama.
2. Tujuan
penyelidikan adalah untuk menjelaskan dan memprediksi. Tujuan utama penelitian
adalah untuk mengembangkan pemahaman prinsip umum, dengan menemukan syarat yang
diperlukan dan kondisi yang tepat untuk memahami fenomena (menciptakan sebuah
model yang sempurna). Jika prinsip umum tersebut diketahui, kita dapat
memanipulasi kondisi untuk menghasilkan hasil prediksi.
3. Pengetahuan
ilmiah dapat diuji (testable). Penelitian dapat dibuktikan hanya melalui
cara empiris, bukan argumentasi. Penelitian harus sebagian besar deduktif,
yaitu logika deduktif digunakan untuk mengembangkan pernyataan-pernyataan yang
dapat diuji. Teori mengarahkan munculnya hipotesis yang pada gilirannya
diimplementasikan pada penelitian untuk pembuktian. Fenomena harus diamati
dengan indra manusia. Unsur argumen perlu dihindari dan unsur kepercayaan patut
dieliminasi. Positivis membuktikan penelitian dengan menggunakan logika
konfirmasi.
4. Ilmu
pengetahuan tidak sama pandangan umum (common sense). Para peneliti
harus berhati-hati untuk tidak memasukkan pandangan umum dalam penelitian.
5. Ilmu pengetahuan
harus sebagai netral nilai yang memiliki tujuan akhir untuk menghasilkan
pengetahuan tanpa memperhatikan pengaruh pandangan politis, moral, atau
nilai-nilai yang dipegang oleh mereka yang terlibat dalam penelitian. Sains
harus dinilai dengan logika yang idealnya menghasilkan prinsip universal :
“Untuk semua kondisi X, jika X memiliki properti P dan P = Q, maka X memiliki
properti P. Kesimpulan tersebut harus benar untuk di setiap waktu dan
semua tempat”
b. Pandangan Terbaru
Pada era terbaru pandangan positivisme dapat
1. Memusatkan pada
sains sebagai produk yang dapat berbentuk satu set pernyataan linguistik atau
numerik.
2. Perhatian dengan
aksiomatisasi dengan menunjukkan struktur logis dan koherensi pernyataan
3. Kepercayaan
bahwa sains adalah bersifat kumulatif
4. Kepercayaan
bahwa ilmu didominasi transkultural
5. Kepercayaan
bahwa ilmu bertumpu pada hasil tertentu yang dipisahkan dari kepribadian dan
status sosial peneliti
6. Keyakinan bahwa
ilmu pengetahuan mengandung teori atau tradisi penelitian yang sebagian besar
sepadan
7. Keyakinan bahwa
ilmu pengetahuan kadang-kadang menggabungkan ide-ide baru yang terputus dari
yang lama
8. Kepercayaan
bahwa ilmu melibatkan gagasan kesatuan ilmu pengetahuan, bahwa ada, yang
mendasari berbagai disiplin ilmu, pada dasarnya satu ilmu tentang satu dunia
nyata.
POST POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun
1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya;
Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry).
Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan
ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa
di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu
berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang
dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan
kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis
aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas
memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas
tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis:
Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti
tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal
mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan
netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi
masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui
kritikan dari tiga hal yaitu :
1.
Observasi sebagai unsur utama metode
penelitian,
2.
Hubungan yang kaku antara teori dan
bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah
pada perbedaan waktu,
3.
Tradisi keilmuan yang terus
berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah
positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu
indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
a. Asumsi Dasar Post Positivisme
1.
Fakta tidak bebas nilai, melainkan
bermuatan teori.
2.
Falibilitas Teori, tidak satupun
teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti
empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3.
Fakta tidak bebas melainkan penuh
dengan nilai.
4.
Interaksi antara subjek dan objek
penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil
interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa
berubah.
5.
Asumsi dasar post-positivisme
tentang realitas adalah jamak individual.
6.
Hal itu berarti bahwa realitas
(perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya
sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.
Fokus kajian post-positivis adalah
tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan
Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada
sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan
kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau
tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip
trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan
lain-lain
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat
pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini
dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan ;
Pertama, Bagaimana
sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain?
Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah?
Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan
postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
Kedua, Bukankah
postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan
usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme
(old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu
teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran
positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandanganpostpositivisme.
Ketiga, banyak
postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple
realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan
ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari
dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivismemengakui bahwa paradigma hanyalah
berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan
bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benarbenar pasti.
Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama
sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang
melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada
yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
b.
Perbedaan Paradigma Positivisme dan
Post Positivisme
Untuk dapat
membedakan paradigma Positivisme
dan paradigma
Post-positivisme, maka dapat dilihat
dalam tabel berikut:
NO
|
ASUMSI
|
POSITIVISME
|
POST-POSITIVISME
|
1
|
Ontology
|
Bersifat nyata,
artinya realita itu mempunyai keberadaan
sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
|
Realis kritis, artinya realitas itu memang
ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
|
2
|
Epistemologi
|
· Dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi
peneliti untuk mengambil jarak
dan bersikap tidak melakukan interaksi
dengan objek yang diteliti.
· Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya
secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
|
· Objektivis
modifikasi, artinya objektivitas
tetap merupakan pengaturan (regulator)
yang ideal, namun objektivitas hanya
dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada
penjaga eksternal, seperti tradisi
dan komunitas yang kritis.
|
3
|
Metodologi
|
Bersifat eksperimental /
manipulatif: pertanyaan-pertanyaan
dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum
penelitian dilakukan dan diuji
secara empiris (falsifikasi)
dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.
|
Bersifat eksperimental /
manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat
ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan
melakukan penelitian
dalam latar yang alamiah,
yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih
tergantung pada teori grounded.
|
contoh dari positivisme, prapositivisme, dan postsitivisme ?????
BalasHapusBisa minta contohnya
BalasHapus