Senin, 03 Oktober 2016

Perkembangan PraPositivisme Positivisme PostPositivisme

PRA POSITIVISME
Era prapositivisme dimulai sejak Aristoteles (384-322 SM) sampai David Hume (1711-1776) . Aristoteles adalah seorang filsuf, saintis, dan sekaligus ahli pendidikan. Ia adalah salah satu ahli piker yang berpengaruh di Barat. Menurutnya manusia adalah pengamat pasif, karena segala hal yang bersifat fisik terjadi secara alamiah. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan, manusia untuk menggunakan hukum-hukum logika seperti law of contracdition (tidak ada proposisi yang benar dan sekaligus salah) dan law of excluded middle (suatu proposisi bias benar dan bias salah).
Logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila disusun secara sistematik, maka metodologi penelitian merupakan bagian dari logika. Setidaknya ada lima model logika, yaitu logika formal asristoteles; logika matematik dedutif; logika matematik induktif; logika matematik probabilistic; dan logika reflektif.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah.
Ada dua metode berfikir dalam perkembangan pengetahuan, yaitu metode deduktif yang dikembangkan oleh Aristoteles dan metode induktif yang dikembangkan oleh Francis Bacon. Metode deduktif adalah metode berfikir yang berpangkal dari hal-hal yang umum atau teori menuju pada hal-hal yang khusus atau kenyataan. Sedangkan metode induktif adalah sebaliknya. Dalam pelaksanaan, kedua metode tersebut diperlukan dalam penelitian.
Kegiatan penelitian memerlukan metode yang jelas. Dalam hal ini ada dua metode penelitian yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pada mulanya metode kuantitatif dianggap memenuhi syarat sebagai metode penilaian yang baik, karena menggunakan alat-alat atau intrumen untuk mengakur gejala-gejala tertentu dan diolah secara statistik.
Berikut adalah dasar teoritis penelitian kuantitatif :
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:
1.     Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2.     Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
3.     Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
4.     Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
            Tetapi dalam perkembangannya, data yang berupa angka dan pengolahan matematis tidak dapat menerangkan kebenaran secara meyakinkan. Oleh sebab itu digunakan metode kualitatif yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh.
Tiap penelitian berpegang pada paradigma tertentu. Paradigma menjadi tidak dominan lagi dengan timbulnya paradigma baru. Pada mulanya orang memandang bahwa apa yang terjadi bersifat alamiah. Peneliti bersifat pasif sehingga tinggal memberi makna dari apa yang terjadi dan tanpa ingin berusaha untuk merubah. Masa ini disebut masa pra-positivisme.

POSITIVISME
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Tokoh aliran ini adalah August Comte (1798-1857). Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran - ukuran tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat.
Pengajaran utama dalam logika positivisme dikembangkan pada tahun 1920 oleh Moritz Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich Waismann, Rudolf Carnap and kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle. Logika positivisme menempati posisi sebagai filosofi empiris yang radikal, dan para pendirinya percaya bahwa hal ini merupakan awal babak baru dalam penyelidikan filosofi. Tujuan dari seluruh analisis filosofi adalah analisis logika dari ilmu yang dinyatakan sebagai positif, atau empiris, yang merupakan label dari logika positivisme.
Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (sebagai contoh: definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan sebagai nyata secara kognitif (cognitively significant) atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila: tidak bermakna, bersifat metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral, tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.
Kata positivisme mengacu pada satu set perspektif epistemologis dan filsafat ilmu yang berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pendekatan yang tepat untuk mengungkap proses baik peristiwa yang terkait masalah fisik dan manusia. Pendekatan positivis telah menjadi tema yang berulang dalam sejarah pemikiran Barat dari Yunani Kuno yang dikembangkan pada awal abad 19 oleh filsuf dan pendiri sosiolog, Auguste Comte.
Positivisme menegaskan bahwa pengetahuan otentik adalah pengetahuan yang didasarkan pada akal, pengalaman dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan terhadap filsafat ilmu yang berasal dari pemikir abad pencerahan di Barat, positivisme menggunakan metode ilmiah untuk menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati ketergantungan melingkar teori dan observasi (pengukuran) dalam ilmu pengetahuan. Positivisme sosiologis kemudian dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk penelitian dalam sosiologi. Pada pergantian abad ke-20 gelombang pertama sosiolog Jerman, termasuk Max Weber dan Georg Simmel, menolak doktrin postivistisme yang kemudian memunculkan paham antipositivists dan positivisme kritis yang terkait dengan “saintisme” yang mengusung konsep ilmu adalah ideologi.
Pada awal abad 20, muncul paham positivisme-logis yang diturunkan dari tesis dasar Comte, tetapi gerakan ini bersifat independen yang muncul di Wina dan tumbuh menjadi salah satu paham yang dominan dalam filsafat Anglo-Amerika dan tradisi analitik. Positivis logis (atau neopositivists) menolak unsur metafisik yang dilihat sebagai spekulasi dan upaya untuk mereduksi pernyataan dan proposisi menjadi sebuah logika yang murni (pure logic). Kritik dari pendekatan oleh filsuf seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn sangat berpengaruh dan memunculkan perkembangan paham postpositivism. Dalam psikologi, gerakan positivis ini berpengaruh pada pengembangan behavioralisme dan operationalisme.
Dalam ilmu sosial kontemporer, paham positivisme telah lama mendapatkan kritikan berkali-kali. Praktisi positivisme era baru mengakui adanya bias pengamat (subjek yang melakukan pengamatan) dan keterbatasan struktural. Positivis modern umumnya menghindari masalah metafisik yang mendukung perdebatan metodologis tentang kejelasan (clarity), keterulangan (replicability), reliabilitas dan validitas. Positivisme seperti ini umumnya mendukung penelitian kuantitatif yang sebenarnya tidak mendukung uraian teoretis atau filosofis paham positivisme.
a.     Beberapa Poin Pandangan Positivisme
Dalam terkuat rumusan aslinya, positivisme bisa dianggap sebagai satu set lima prinsip yang terdiri dari:
1.    Kesatuan metode ilmiah yaitu logika investigasi (i.e penyelidikan, penelitian) di semua ilmu (sosial dan alam) adalah sama.
2.    Tujuan penyelidikan adalah untuk menjelaskan dan memprediksi. Tujuan utama penelitian adalah untuk mengembangkan pemahaman prinsip umum, dengan menemukan syarat yang diperlukan dan kondisi yang tepat untuk memahami fenomena (menciptakan sebuah model yang sempurna). Jika prinsip umum tersebut diketahui, kita dapat memanipulasi kondisi untuk menghasilkan hasil prediksi.
3.    Pengetahuan ilmiah dapat diuji (testable). Penelitian dapat dibuktikan hanya melalui cara empiris, bukan argumentasi. Penelitian harus sebagian besar deduktif, yaitu logika deduktif digunakan untuk mengembangkan pernyataan-pernyataan yang dapat diuji. Teori mengarahkan munculnya hipotesis yang pada gilirannya diimplementasikan pada penelitian untuk pembuktian. Fenomena harus diamati dengan indra manusia. Unsur argumen perlu dihindari dan unsur kepercayaan patut dieliminasi. Positivis membuktikan penelitian dengan menggunakan logika konfirmasi.
4.    Ilmu pengetahuan tidak sama pandangan umum (common sense). Para peneliti harus berhati-hati untuk tidak memasukkan pandangan umum dalam penelitian.
5.   Ilmu pengetahuan harus sebagai netral nilai yang memiliki tujuan akhir untuk menghasilkan pengetahuan tanpa memperhatikan pengaruh pandangan politis, moral, atau nilai-nilai yang dipegang oleh mereka yang terlibat dalam penelitian. Sains harus dinilai dengan logika yang idealnya menghasilkan prinsip universal : “Untuk semua kondisi X, jika X memiliki properti P dan P = Q, maka X memiliki  properti P. Kesimpulan tersebut harus benar untuk di setiap waktu dan semua tempat”
b. Pandangan Terbaru
Pada era terbaru pandangan positivisme dapat
1.   Memusatkan pada sains sebagai produk yang dapat berbentuk satu set pernyataan linguistik atau numerik.
2.   Perhatian dengan aksiomatisasi dengan menunjukkan struktur logis dan koherensi pernyataan
3.   Kepercayaan bahwa sains adalah bersifat kumulatif
4.   Kepercayaan bahwa ilmu didominasi transkultural
5.   Kepercayaan bahwa ilmu bertumpu pada hasil tertentu yang dipisahkan dari kepribadian dan status sosial peneliti
6.   Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan mengandung teori atau tradisi penelitian yang sebagian besar sepadan
7.   Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan kadang-kadang menggabungkan ide-ide baru yang terputus dari yang lama
8.   Kepercayaan bahwa ilmu melibatkan gagasan kesatuan ilmu pengetahuan, bahwa ada, yang mendasari berbagai disiplin ilmu, pada dasarnya satu ilmu tentang satu dunia nyata.
POST POSITIVISME

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.

Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.

Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :
1.    Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
2.    Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3.    Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

a.     Asumsi Dasar Post Positivisme
1.         Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.         Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali. 
3.         Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.         Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.         Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6.         Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.         Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain

Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan ;

Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.

Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandanganpostpositivisme.

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivismemengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benarbenar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

b.        Perbedaan Paradigma Positivisme dan Post Positivisme
Untuk  dapat  membedakan  paradigma  Positivisme  dan  paradigma Post-positivisme,  maka dapat dilihat dalam tabel berikut:

NO
ASUMSI
POSITIVISME
POST-POSITIVISME
1
Ontology
Bersifat  nyata,  artinya realita  itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
Realis  kritis, artinya realitas  itu memang  ada, tetapi  tidak  akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
2
Epistemologi
·      Dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial  bagi  peneliti  untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan  interaksi dengan  objek yang diteliti.

·      Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi  lainnya  secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
·      Objektivis  modifikasi, artinya objektivitas  tetap  merupakan pengaturan  (regulator)  yang  ideal, namun  objektivitas  hanya  dapat diperkirakan  dengan  penekanan khusus  pada  penjaga  eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
3
Metodologi
Bersifat eksperimental / manipulatif: pertanyaan-pertanyaan  dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan  dan  diuji  secara empiris (falsifikasi)  dengan  kondisi  yang terkontrol secara cermat.
Bersifat eksperimental / manipulatif  yang dimodifikasi,  maksudnya menekankan  sifat  ganda  yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan  dengan
melakukan  penelitian  dalam  latar yang  alamiah,  yang  lebih  banyak menggunakan  metode-metode kualitatif,  lebih  tergantung  pada teori grounded.




2 komentar: